Minggu, 01 Februari 2015

PEMBAHASAN SUMBER HUKUM AJARAN ISLAM


Menetapkan sumber hukum islam harus dengan ketetapan yang qath’i (dalilnya jelas) bukan dengan ketetapan yang zhanni (dalilnya tersamarkan atau dugaan).
Allah SWT berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
“(Dan) janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya.” (QS. Al-Israa: 36)
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنًّا إَنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“(Dan) kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus: 36)
Masalah ini termasuk masalah pokok (ushul), karena merupakan dasar bagi seorang Muslim untuk menarik keyakinan atas hukum-hukum amaliahnya. Jika landasan hukumnya sudah salah, maka seluruh hukum-hukum cabang yang dihasilkannya akan salah juga. Oleh karena itu, dalam menetapkan sumber hukum Islam tidak dapat dilakukan berdasarkan persangkaan atau  dugaan belaka.
Berdasarkan pengertian di atas maka yang memenuhi syarat untuk digunakan sebagai sumber pengambilan dalil-dalil syar’i adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ Shahabat dan Qiyas (yang mempunyai persamaan illat syar’i).
Sumber hukum ajaran agama islam terbagi menjadi dua bagian, yaitu sumber hukum yang disepakati ulama dan sumber hukum yang tidak disepakati oleh ulama.

I.                   Sumber hukum yang disepakati ulama

a.       Al-qur’an

1.)    Pengertian Al-qur’an

Al-qur’an menurut bahasa adalah “bacaan” atau “yang dibaca”. Kata Al-qur’an adalah bentuk mashdar dari fi’il qara’a (قرأ) yang diartikan dengan arti isim maf’ul,yaitu maqru’ yang artinya dibaca atau bacaan.

Al-qur’an menurut syara’ (istilah) ialah nama bagi Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang ditulis dalam mushhaf.

Definisi Al-qur’an menurut Dr. Bakri Syaikh Amin “Al’qur’an adalah kalam Allah sebagai mukjizat yang diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul (Nabi Muhammad saw.) dengan perantaraan al-Amin (Jibril as.), ditulis dalam mashahif, terpelihara dalam dada-dada manusia, disampaikan secara mutawatir, bacaannya diberi nilai ibadah, dimulai dengan surah Al-Fatihah, dan diakhiri dengan surah An-nas.”


2.)    Isi pokok ajaran Al-qur’an
a.) Masalah aqidah
      Aqidah adalah masalah yang sangat prinsipil dalam agama islam, begitu juga dengan agama-agama lainnya. Sehingga aqidah adalah isi pokok Al-qur’an yang utama atau yang pertama.  Aqidah islam adalah tauhid, artinya kepercayaan terhadap keesaan Allah swt. Al-qur’an mengajarkan bahwa Allah itu Esa, tunggal, tidak ada padanannya, karena Allah itu pencipta, maka mustahil atau tidak masuk akal bahwa yang mencipta sama dengan yang diciptakan.

b.) Masalah ibadah
      Ibadah adalah isi pokok ajaran Al-qur’an yang kedua. Ibadah adalah bentuk pengabdian seorang hamba kepada Sang Pencipta (Al-Khaliq), Allah swt. sebagai rasa terima kasih atas segala nikmat yang telah diterimanya.
      Ibadah adalah realisasi dari keimanan . seseorang mengakui adanya Allah, malaikat, diutusnya Nabi Muhammad dan sebagainya, tetapi tidak melaksanakan ibadah yang telah ditetapkan Allah melui Rasul-Nya sama dengan bohong atau dalam agama disebut fasiq. Ibadah ada yang berbentuk ucapan, perbuatan atau niatan dalam hati.

c.) Masalah mu’amalah
     mu’amalah adalah tata cara hubungan manusia dengan sesamanya dalam berbagai aspek kehidupan.
     Mu’amalah ada dua, yaitu:
    1. Hablum minannas
    2. Hablum minallah

d.) Masalah akhlak
      Pada prinsipnya ajaran islam yang terkandung di dalam Al-qur’an secara garis besar adalah akhlak. Arti akhlak secara umum adalah sikap, tingkah laku, morma atau budi pekerti.
      Ketika Aisyah ra. ditanya tentang akhlak. Rasul saw., maka jawabannya adalah akhlaknya adalah Al-qur’an. Seperti tugas Rasul saw. “aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (Al-Hadist).

e.) Masalah hukum
      Yang dimaksud dengan hukum disini adalah aturan Allah untuk kepentingan kebaikan umat manusia.
      Hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-qur’an dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
      1. Hukum tentang aqidah atau keimanan
      2. Hukum tentang moral atau akhlak
      3. Hukum tentang perbuatan manusia, yang terbagi menjadi hukum-
          hukum peribadatan dan hukum-hukum mu’amalat.  
      Hukum-hukum di dalam Al-qur’an ada yang dijelaskan secara rinci seperti masalah ibadah dan pewarisan, dan ada yang dijelaskan secara global seperti perdata, ekonomi, dan sebagainya.

f.) Masalah sejarah
     Masalah sejarah yaitu riwayat umat-umat terdahulu untuk dijadikan pelajaran bagi umat islam sekarang. Al-qur’an menjelaskan hal ini dalam Surah Yusuf ayat 111 yang artinya : “sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal.”
      Di dalam Al-Qur’an banyak disebut kisah-kisah atau sejarah umat terdahulu, seperti kisah Nabi Nuh, Nabi Musa, Fir’aun, Ashab al-kahfi, kaum ‘ad, kaum tsamud dan lain-lain. Ada yang dikisahkan karena kedurhakaannya kepada Allah serta akidah yang diterimanya, dan ada yang dikisahkan karena kebaikan dan ketaatannya kepada Allah swt.

g.) Masalah dasar-dasar sains
      Al-qur’an memang bukan buku ilmu poengetahuana, tetapi banyak ayat-ayatnya yang memberi isyarat terhadap dasar-dasar ilmu pengetahuan. Jauh sebelum teori-teori ilmu pengetahuan itu dibuktikan oleh para ilmuan melalui empirisnya, Al-qur’an telah mengisyaratkannya kea rah itu.

3.)    Dasar kehujjahan Al-qur’an dan kedudukannya sebagai sumber hukum Al-qur’an menempati kedudukan pertama dari sumber-sumber hukum yang lain dan merupakan aturan dasar tertinggi. Sumber hukum maupun ketentuan norma yang ada tidak boleh bertentangan dengan Al-qur’an.
Al-qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad dan disampaikan kepada umat manusia untuk diamalkan isinya.

4.)    Pedoman Al-qur’an dalam menetapkan hukum
Al-qur’an dalam menetapkan hukum sesuai dengan kondisi manusia, sesuai dengan kemampuan manusia, baik jasmani maupun rohaninya.
Al-qur’an berpedoman pada tiga hal, yaitu :
1. Tidak memberatkan atau tidak menyulitkan (‘adamul haraj)
2. Menyedikitkan beban (qillatut taklif)
3. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum (attadrij fit tasyri’)

5.)    Sifat hukum yang ditunjukkan Al-qur’an
Ayat-ayat yang terkandung didalam Al-qur’an umumnya bersifat kulli (umum) dan sedikit sekali yang bersifat juz’i (terinci).

b.      As-sunnah
1.)    Pengertian as-sunnah
As-sunnah menurut bahasa  yaitu kebiasaan atau jalan yang baik atau yang jelek.
Sunnah menurut bahasa juga mengandung arti :
1. Jalan yang ditempuh
2. Cara atau jalan yang sudah terbiasa
3. Sebagai laman dari kata bid’ah
sunnah menurut istilah syar’i adalah sesuatu yang berasal dari Rasulullah saw., baik berupa perkataan (qauli), perbuatan (fi’li), maupun penetapan pengakuan (taqriry).
Sunnah terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Sunnah qauliyah
2. Sunnah fi’liyyah
3. Sunnah taqririyyah
Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib mengatakan bahwa “Al-qur’an dan As-sunnah merupakan dua sumber hukum syari’at islam yang saling terkait, seseorang muslim tidak mungkin mampu memahami syari’at islam tanpa kembali kepada kedua sumber hukum tersebut. Mujtahid atau orang ‘alim memerlukan keduanya.”
2.)    Dasar As-sunnah sebagai sumber hukum islam
Untuk mengetahui dasar-dasar bahwa As-sunnah sebagai sumber hukum islam, dapat memperhatikan beberapa dalil berikut ini :
1. Dalil Al-Qur’an
    Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala sesuatu yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup.
Kaitan tentang pemahaman sunnah sebagai sumber hukum islam, yaitu :
1. Selain mempercayai Allah, umat islam juga wajib mempercayai Rasul (Muhammad saw.)
2. Umat islam wajib menaati semua yang bersumber dari Rasulullah
3. Allah mengancam kepada orang-orang yang tidak mempercayai atau
    menaati rasul-rasul Allah.

2. Dalil Al-Hadist
    “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh kepada keduanya (yaitu) kitab Allah (Al-qur’an) dan sunnah Rasul-Nya.” (Al-Hadist)
hadist diatas menjelaskan bahwa umat islam wajib berpegang teguh kepada As-sunnah dan menjadikannya sebagai pedoman hidup dan sumber hukum dalam memecahkan segala persoalan yang dihadapi, sebagaimana mereka menjadikan Al-qur’an sebagai pedsoman hidupnya.

3. Kesepakatan ulama (Ijma’)
    Umat islam telah sepakat menjadikan As-sunnah sebagai salah satu hukum beramal, karena sesuai yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Kesepakatan umat islam dalam mempercayai dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung dalam As-sunnah terus berlanjut sejak masa Rasulullah masih hidup, sepeninggal beliau, mulai zama Khulafa Al-Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya, dan tidak ada yang mengingkarinya.

4. Sesuai dengan petunjuk akal
    Selain Al-qur’an, As-sunnah, dan Ijma’ ulama mengatakan bahwa As-sunnah sebagai sumber hukum islam, secara akal pun dinyatakan bahwa konsekuensi mempercayai Muhammad sebagai Rasulullah mengharuskan menerima dan menaati segala yang beliau perintahkan dan meninggalkan yang beliau larang.

3.)    Kedudukan As-sunnah sebagai sumber hukum
Kedudukan As-sunnah terhadap Al-qur’an adalah sebagai berikut :
1. Sunnah sebagai penjelas dan merinci ayat-ayat Al-qur’an yang
    masih global dan memberikan batasan terhadap ayat Al-Qur’an yang
    dalam pelaksanaannya belum ada batasan.
2. Sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya
    didalam Al-qur’an.
3. Sunnah memperkuat ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
    dalam nash Al-qur’an.

c.       Ijma’
1.)    Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa berarti sepakat, setuju, atau sependapat.
Ijma’ menurut istilah adalah “kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad saw. setelah beliau wafat, pada suatu masa tertentu, tentang masalah tertentu.”
Kesepakatan ulama dapat terjadi dengan tiga cara, yaitu :
1. Dengan ucapan (qauli), yaitu kesepakatan  bedasarkan pendapat
    yang dikeluarkan para mujtahid yang diakui sah dalam suatu  
    masalah.
2. Dengan perbuatan (fi’li), yaitu kesepakatan para mujtahid dalam
     mengamalkan sesuatu.
3. Dengan diam (sukut), yaitu apabila tidak ada diantara mujtahid yang
    membantah terhadap pendapat satu atau dua mujtahid lainnya dalam
   suatu masalah.

2.)    Macam-macam Ijma’
Dilihat dari sikap para mujtahid dalam mengemukakan pendapatnya, ijma’ terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Ijma’ Sharih, yaitu: apabila semua mujtahid menyatakan persetujuan
    atas hukum yang mereka putuskan, dengan lisan maupun tulisan.
2. Ijma’ Sukuti, yaitu: apalagi sebagian mujtahid yang memutuskan
    hukum itu tidak semuanya menyatakan setuju baik dengan lisan
    maupun tulisan, melainkan mereka hanya diam.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum adalah ijma’ sharih.
Dalam tatanan ilmu yang lebih luas , ijma’ dibagi dalam beberapa macam, yaitu :
1. Ijma’ Ummah, yaitu kesepakan semua mujtahid dalam suatu
    masalah tertentu.
2. Ijma’ Shahabi, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu
    masalah.
3. Ijma’ Ahli Madinah, yaitu kesepakatan ulama-ulama Madinah
    dalam suatu masalah tertentu.
4. Ijma’ Ahli Kufah, yaitu yaitu kesepakatan ulama-ulama Kufah
    dalam suatu masalah tertentu.
5. Ijma’ Khalifah yang Empat, yaitu kesepakatan empat khalifah (Abu
    Bakar As-Shidiq, Umar Bin Khattab, Ustman Bin Affan, dan Ali
    Bin Abu Thalib) dalam suatu masalah.
6. Ijma’ Syaikhani, yaitu kesepakatan pendapat Abu Bakar dan Umar
    Bin Khattab dalam suatu masalah.
7. Ijma’ Ahli Bait, yaitu kesepakatan dari ahli bait (keluarga Rasul)

3.)    Kedudukan ijma’ sebagai sumber hukum
Kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan dumber hukum islam dalam menetapkan suatu hukum dengan nilai kehujjahan bersifat zhanny.
Golongan Syi’ah memandang bahwa ijma’ sebagai hujjah yang harus diamalkan.
Ulama Hanafiyah menerima ijma’ sebagai dasar hukum, baik ijma’ qath’i maupun ijma’ zhanny.
Ulama Syafi’iyah hanya memegangi ijma’ qath’i dalam menetapkan hukum.
Pada dasarnya ijma’ dapat dijadikan alternatif dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang didalam Al-qur’an dan As-sunnah kurang jelas hukumnya.

4.)    Sebab-sebab dilakuan ijma’
sebab-sebab dilakukannya ijma’ adalah :
1. Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status
    hukumnya, sementara didalam nash Al-qur’an dan As-sunnah tidak
    ditemukan hukumnya.
2. Karena nash baik yang berupa Al-qur’an maupun As-sunnah sudah
    tidak turun lagi,
3. Karena pada masa itu jumlah mujtahid sedikit dan mudah
    mengkoordinir untuk melakukan kesepakatan dalam mewnentukan
   status suatu hukum persoalan permasalahan yang timbul pada saat itu.
4. Diantara para mujtahid belum timbul perpecahan dan kalau ada
    perselisihana masih mudah disatukan.
d.      Qiyas
1.)    Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti mengukur, membandingkan atau mempersamakan sesuatu dengan yang lainnya dikarenakan adanya persamaan.
Menurut istilah qiyas adalah menetapkan hukum sesuatu yang yang belum ada ketentuan hukumnyabdalam nash dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya dalam nash.
berbeda dengan ijma’, qiyas bisa dilakukan individu, sedangkan ijma’ harus dilakukan bersama mujtahid.

2.)    Macam-macam qiyas
1. Qiyas Aulawi, yaitu mengqiyaskan sesuatu dengan sesuatu yang
    hukumnya telah ada, namun sifatnya atau illatnya lebih tinggi dari
    sifat hukum yang telah ada.
2. Qiyas Musawi, yaitu illat qiyasvsuatu hukum sama.
3. Qiyas Dilalah, yaitu menetapkan hukum karena adanya persamaan
    dilalat alhukm (penunjukkan hukum).
4. Qiyas Syibh, yaitu terjadinya keraguan dalam mengqiyaskan, ke asal
    mana illat ditujukan kemudian harus ditentukan salah satunya dalam
    rangka penetapan hukum padanya.

3.)    Kedudukan qiyas dalam sumber hukum
Menurut para ulama kenamaan, bahwa qiyas itu merupakan hujjah syar’iyyah terhadap hukum akal. Qiyas inti menduduki tingkat keempat hujjah syar’i, sebab dalam suatu peristiwa bila tidak ada hukumnya bedasarkan nash, maka peristiwa itu disamakan dengan peristiwa lain yang mempunyai kesamaan dan telah ada ketetapan hukumnya dalam nash.

4.)    Sebab-sebab dilakukannya qiyas
1. Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status
    hukumnya, sementara didalam nash Al-qur’an dan As-sunnah tidak
    ditemukan hukumnya dan mujtahid pun belum melakukan ijma’.
2. . Karena nash baik yang berupa Al-qur’an maupun As-sunnah sudah
    tidak turun lagi.
3. Karena adanya persamaan illat antara peristiwa yang belum ada
    hukumnya dengan peristiwa yang hukumnya telah ditentukan nash.

II.                Sumber hukum yang tidak disepakati ulama

a.       Syari'at umat terdahulu
Sebenarnya syari'at umat terdahulu (umat nabi-nabi sebelum nabi Muhammad SAW) bukan termasuk syari'at bagi kita (umat nabi Muhammad saw), dan bukan tergolong ujjah (dalil) bagi kita. Allah berfirman yang artinya.
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ

"Dan kami telah turunkan kepadamu al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) atau batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain." (QS. Al-Maidah: 48)
Arti dari wamuhaimina 'alaih adalah nasikhon lima sabiqohu yaitu penghapus kitab-kitab sebelumnya. Oleh karena itu kita tidak diseru untuk melaksanakan syari'at sebelum kita. Kita diseru hanya untuk melaksanakan syari'at Islam yang dibawa oeh nabi Muhammad SAW. 

b.       Madzhab Sahabat
Madzhab sahabat sebenarnya bukan merupakan dalil syara'.
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ
"Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah  (al-Qur'an) dan rasul (sunnahnya)" (QS. An-Nisa: 59).
            Dalam ayat ini Allah SWT telah mewajibkan untuk mengembalikan seluruh perkara yang perselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya.
            Begitu juga para sahabat telah sepakat atas kebolehan menyelisihi sahabat secara perorangan. Andaikata pendapat seorang sahabat merupakan hujjah maka pasti setiap sahabat wajib mengikuti pendapat sahabat yang lainnya. Tetapi hal seperti ini tidak mungkin terjadi. 
c.       Istihsan
Secara bahasa istihsan mengikuti wazan istaf'ala dari kata al-hasan yang memandang baik suatu perkara. Lawannya disebut al-istiqbah artinya memandang buruk suatu perkara.
Secara istilah istihsan diartikan dengan dalil cacat pada benak seorang mujahid, dan tidak kuasa untuk menampakkannya karena tidak ada dukungan al-ibarah (redaksi) untuk mengungkapkannya.
                        Sebagian ulama mendefinisikannya dengan 'beralih dari konsekwensi suatu Qiyas kepada Qiyas lain. yang lebih kuat. Mereka juga menganggap termasuk bagian dari istihsan adalah beralih dari Qiyas kepada nash, baik al-Kitab, as-Sunnah maupun adat. Begitu pula yang termasuk istihsan adalah mengalihkan suatu alasan dari suatau tentang masalah-masalah yang sejenis kepada hukum lain karena adanya aspek yang lebih kuat yang mengharuskan peralihan tersebut.
            Contohnya adalah firman Allah SWT:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
"Para ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu bagi yang menyempurnakan penyusuan". (QS. Al-Baqarah: 233).
Apabila istihsan merupakan peralihan dari suatu dalil tanpa ada dalil yang mengharuskan maka sebenarnya istihsan bukan merupakan dalil. Karena Allah SWT berfirman:

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ
" Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang suatu perkara maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasulnya." (QS. An-Nisa: 59).

d.      Mashalih al-Mursalah
Para ulama penganut mashalih mursalah mendefinisikannya dengan 'kemaslahatan yang tidak dijelaskan oleh dalil khusus yang mengakuinya atau mencampakannya '. kemudian kemaslahatan tersebut diambil, padahal tidak ada nash yang mengakuinya, dengan syariat ketika diambil berakibat tertolaknya suatu kesulitan.   
            Mereka memberikan contoh dengan kasus, jika ada orang yang mendakwa orang lain bahwa dia mempunyai harta pada orang tersebut, sementara tidak mampu mendatangkan bukti atas dakwaannya, kemudian terdakwa dituntut untuk bersumpah berdasarkan sabda Rasulullah SAW. yang artinya:
 "Bukti atas penuntut/pendakwa dan sumpah atas orang yang mengingkarinya (terdakwa)."
(HR. Tirmidzi)
            Mereka tidak mewajibkan sumpah pada terdakwa kecuali jika antara terdakwa dan pendakwa terdapat suatu hubungan. Hal ini dilakukan agar orang-orang yang bodoh tidak berai (lancing) kepada kalangan terhormat sehingga akan menyerahkan mereka kaum terhormat kepengadilan dengan dakwaan-dakwaan dusta.
            Berdasarkan definisi diatas, jelas sekali bahwa sebenarnya mashahih mursalah bukan termasuk dalil. Menggunakan menyalahi nash adalah tindakan batil, berdasarkan dalil berikut :

1.                   Firman Allah SWT:

َمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. ".
(QS. Asy-Syura:10)

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang suatu perkara maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasulnya." (QS. An-Nisa: 59)

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
"Pada hari ini telah kusempurnakan agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmatKu."  
(QS. Al-Maidah: 3)

أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَن يُتْرَكَ سُدًى
"Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?"
 (QS. Al-Qiyamah:36).

2.                   Kemaslahatan yang sebenarnya adalah kemaslahatan berdasarkan dalil syara' dimana ada perintah syara' disitu ada kemaslahatan. Sedangkan istilah menghukumi berdasarkan mashalih mursalah adalah menghukumi yang didasarkan pada mashlahat yang tidak ditetapkan oleh syara'. Oleh karena mashalih mursalah bukan tergolong hujjah.

3.            Membangun suatu hukum atas dasar kemaslahatan yang tidak diakui oleh syara' berari menjadikan akal yang tidak didukung  oleh dalil sebagai hakim (al-'aql al-mujarrod). Sebagai hakim, ini tidak diperbolehkan

http://sabri1a.files.wordpress.com

Suparta, Mundzier dan Djedjen Zainudin. 2008. Fikih Kelas XII. Semarang: Toha Putra